Apa itu Dwibahasa?

1. PENGERTIAN KEDWIBAHASAAN
Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan sebagai berikut:
a. Robert Lado (1964-214)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya, oleh seseorang.
b. MacKey (1956:155)
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa.
c. Hartman dan Stork (1972:27)
Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.
d. Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan merupakan kemamouan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur.
e. Haugen (1968:10)
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa.
Jika diuraikan secara lebih umum maka maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.

2. TIPOLOGI KEDWIBAHASAAN
a. Menurut Weinreich (1953) tipologi kedwibahasaan didasarkan pada derajat atau tingkat penguasaan seorang terhadap ketrampilan berbahasa. Maka Weinreich membagi kedwibahasaan menjadi tiga yaitu:
 Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan majemuk adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik daripada kemampuan berbahasa bahasa yang lain.
 Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
Kedwibahasaan koordinatif/sejajar adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu.
 Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan sub-ordinatif (kompleks) adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya.
b. Baeten Beardsmore (1985:22) menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.
c. Menurut Pohl (dalam baetens Beardmore, 1985;5) tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:

 Horisontal (horizontal bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaanmaupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
 Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
 Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
d. Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985) tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu:
 Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu tyerhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis)
 Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism)

3. DIAGLOSIA DALAM KEDWIBAHASAN
Diaglosia adalah situasi dimana dau dialek atau lebih biasa dipakai.(Charles Fergison 1959:136). Diaglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil dimana, selain dari dialek-dialek utama satu bahasa(yang memungkinkan mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat terkondifikasikan dan lebih tinggi, sebagai wacana dalam kesaeluruhan kesusastraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun waktu terdahulu maupun masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apa pun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa.(Hudson 1980:54). Diaglosia adalah hadirnya dua bahasa baku dalam satu bahasa, bahasa tinggi dipakai dalam suasana-suasana resmi dan dalam wacana-wacana tertulis, dan bahasa rendah dipakai untuk percakapan sehari-hari.(Hartmann & Strork 1972:67). Diaglosia adalah persoalan antara dua dialek dari satu bangsa, bukan antara dua bahasa. Kedua ragam bahasa ini pada umumnya adalah bahasa baku (standard language) dan dialek derah regional daerah (regional dialect).

4. ALIH KODE
Penggunaan bahasa dalam situasi kedwi-bahasaan atau keanekabahasaan akan melibatkan persoalan siapa yang bertutur, bahasa apa yang digunakan, kepada siapa seseorang itu bertutur, kapan dan di mana tutur itu terjadi (Fishman,1972:244).
Dalam situasi kedwibahasaan atau keaneka-bahasaan, sering kita melihat orang mengganti bahasa atau ragam bahasa; hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu sendiri. Kalau bahasa dipandang sebagai system kode, maka peralihan bahasa yang satu ke bahasa yang lain disebut alih kode. Misalnya, seseorang penutur menggunakan bahasa Indonesia, dan kemudian beralih dengan menggunakan bahasa yang lain.

Peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa yang lain itu disebut peristiwa alih kode (code-switching). Namun, seperti telah terurai di atas, dalam suatu bahasa terdapat kemungkinan varian bahasa baik dialek, tingkat tutur, ragam maupun register yang juga disebut sebagai kode maka peristiwa alih kode mungkin berwujud alih dialek, alih tingkat tutur, alih ragam ataupun alih register. Dalam kaitan ini, Nababan mengatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga di mana seseorang beralih dari satu ragam fungsiolek (misalnya ragam santai) ke ragam lain (misalnya ragam formal), atau dari satu dialek ke dialek yang lain (1984:31). Lebih lanjut, kalau kita berpijak pada bahasa Jawa atau bahasa daerah yang memiliki sejumlah tingkat tutur yang mempunyai tingkat tutur yang kompleks, alih kode ini dapat diperluas dengan alih tingkat tutur. Alih kode seperti ini terjadi, misalnya, pada waktu seseorang berbicara dalam bahasa daerah yang formal dan hormat (krama), tiba-tiba penutur itu beralih ke bahasa Indonesia ragam formal, kemudian kembali ke krama lagi, lalu berganti ke ngoko, lalu ke bahasa Indonesia lagi, lalu ke krama, begitu selanjutnya.
Pengertian alih kode akan dibedakan dengan pengertian campur kode. Situasi berbahasa yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi alih kode ialah terdiri dari faktor-faktor, yakni: pribadi yang berperan dalam tindak berbahasa, yang membicarakan masalah tertentu, yang menggunakan jalur tertentu, dengan tujuan tertentu pula (Nababan, 1984:31). Istiati Soetomo menegaskan bahwa tindak berbahasa itu ditentukan oleh pertimbangan komunikasi, yaitu pertimbangan yang datang dari sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem tingkah laku (1985:26). Sedangkan pengertian campur kode, menurut Nababan, ialah suatu keadaan berbahasa di mana seseorang penutur mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak berbahasa (speech act) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu sendiri. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian dan/atau kebiasaannya yang dituruti (1984:31). Dalam hubungan ini, Istiati Soetomo menanbahkan bahwa campur kode itu dilakukan seseorang demi kemudahan dalam berbahasa (1985:88).
5. KODE CAMPURAN
Istilah kode di sini dimaksudkan untuk menyebut salah satu varian dalam hirakhi kebahasaan. Kode dapat menyaran pada (1) bahasa, dan (2) varian dari suatu bahasa. Bila bahasa dipandang sebagai suatu kode, kita, misalnya, akan mengetahui bahwa bahasa Banjar, bahasa Arab, bahasa Indonesia dan sebagainya adalah kode-kode. Suatu bahasa memiliki sejumlah varian bahasa dan selanjutnya setiap varian bahasa juga disebut kode. Varian-varian bahasa dapat berupa (a) dialek yang terbagi lagi menjadi : dialek geografi, sosial, usia, jenis kelamin, aliran, suku, ras dan sebagainya, (b) tingkat tutur yang terbagi lagi menjadi : tingkat tutur hormat, dan non-hormat, yang berwujud ngoko, krama madya, dan krama inggil (bahasa Jawa), (c) ragam (style) yang terbagi lagi atas dasar suasana: ragam santai (informal), resmi (formal), dan literer (indah), dan atas dasar komunikasi: ragam ringkas (restricted code), ragam lengkap (elaborated code), dan syair, serta atas dasar kekhususan: register (Poejosoedarmo, 1975). Dalam kaitan ini, Fishman menyatakan bahwa setiap varian bahasa itu dapat dikenali atau diketahui (1) pola-pola bunyinya, (2) kosa katanya, (3) ciri-ciri gramatikalnya, dan (4) maknanya (1972:5). Istilah dialek menyaran pada varian bahasa yang adanya ditentukan oleh latar belakang asal usul penutur. Latar belakang penutur dapat berupa (1) lingkungan geografis tempat seorang penutur hidup, (2) tingkat sosial dari mana seorang penutur berasal, (3) aliran agama, kepercayaan kebatinan atau kepartaian yang seorang penutur anut, (4) umur seorang penutur (anak-anak atau orang dewasa/tua, (5) jenis kelamin seorang penutur (laki-laki atau perempuan), dan suku/etnis seorang penutur (Negro, Indian, Tionghoa, Jawa, Madura). Berkenaan dengan dialek sebagai suatu kode, Trudgill berpendapat

bahwa dalam bahasa terdapat dua dialek, yaitu dialek regional dan dialek sosial. Dialek regional menyaran pada varian bahasa yang adanya ditentukan oleh daerah asal si penutur. Dalam bahasa Banjar, misalnya, kita mengenal dialek bahasa Banjar Hulu dan Kuala; dalam bahasa Jawa, misalnya, kita mengenal dialek bahasa Jawa Surabaya, Yogyakarta, Banyumas, dan lain-lain. Dialek sosial menyaran dialek yang adanya ditentukan oleh tingkat sosial dari mana seseorang penutur berasal, apakah ia berasal dari kelas sosial tingkat, menengah, atau rendah.
Lebih lanjut, Soepomo Poedjosoedarmo menjelaskan bahwa tingkat tutur dipandang sebagai suatu kode. Tingkat tutur mempunyai ciri khusus sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan tuturnya, dan situasi tutur yang ada. Tingkat tutur itu biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh anggota suatu masyarakat bahasa. Bagi masyarakat ekabahasa, kode itu merupakan varian dari bahasanya yang satu. Akan tetapi, bagi masyarakat yang dwibahasa atau anekabahasa, inventariasai kode itu menjadi lebih luas dan mencakup varian dua bahasa atau lebih(1975:30).

6. BAHASA MATI
Sebuah Bahasa mati adalah bahasa yang tidak memiliki penutur asli lagi (native speaker) atau memang tidak dipergunakan lagi. Sebuah bahasa apabila tidak didokumentasikan akan hilang selamanya apabila sudah tidak ada penuturnya lagi. Tetapi apabila didokumentasikan maka bahasa yang sudah matipun kadangkala "dihidupkan" lagi.
Beberapa contoh bahasa mati:
• bahasa Sumeria yang pernah dituturkan di daerah yang sekarang disebut Irak
• bahasa Galia yang dituturkan di daerah yang sekarang disebut Perancis
Bahasa yang tidak memiliki penutur asli lagi tetapi masih digunakan sebagai bahasa untuk mengiringi ritual keagamaan disebut bahasa liturgis.
Beberapa contoh bahasa liturgis:
• Bahasa Koptik yang digunakan oleh umat Kristen Koptik di Mesir dan sekitarnya
• Bahasa Aram yang digunakan oleh umat Kristen Ortodoks di Suriah
• Bahasa Latin yang digunakan oleh umat Katolik
• Bahasa Slavonia klasik (bahasa Bulgaria Kuna) yang digunakan oleh umat Kristen Ortodoks Slavia. Mungkin disebut sebagai bahasa Slavonia Gerejawi Kuna (Old Church Slavonic)
• Bahasa Sansekerta yang digunakan oleh umat Hindu dan Buddha
• Bahasa Pali yang digunakan oleh umat Buddha
Seringkali bahasa-bahasa liturgis ini merupakan bentuk yang kuna dari beberapa bahasa mutakhir yang bisa dianggap anak bahasanya.

7. PERENCANAAN BAHASA.
Charles A. Ferguson (1977) dalam bukunya “Language Planning Processes” memberikan ilustrasi baik yang menyangkut karakteristk bahasa, pemakai bahasa, dan “Sejarah Pemaksaan” pemakaian bahasa oleh penguasa, yang pada garis besarnya sebagai berikut:


1. Bahasa itu dinamis sehingga menyebabkan bahasa itu hidup, berubah, dan berkembang. Bahasa itu aktif dan terus berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat pemakai bahasa tersebut.
2. Banyak pemakai bahasa yang sedikit banyak telah mempunyai pengetahuan tentang linguistic. Mereka dapat menilai dan menentukan apakah bahasa itu betul atau salah dalam penggunaannya.
3. Penjajah dapat juga menyebabkan penggunaan bahasa pada masyarakat tertentu berubah. Penjajah memaksakan penggunaan bahasanya terhadap penduduk atau Negara yang dijajahnya.
Ferguson (1966) dan Steward (1968) menyatakan bahwa cirri-ciri bahasa yang membedakan masyarakat awam menerima perencanaan bahasa adalah:
1. Bahasa itu adalah bahasa pribumi atau bahasa ibu Negara itu.
2. Bahasa itu pernah menjadi Lingua Franca dalam Negara itu dan antarnegara tetangga.
3. Bahasa itu berpotensi (kreatif dan fleksibel) untuk perkembangan pendidikan, agama, sastra, IPTEK, dan media massa.
4. Bahasa itu mempunyai budaya yang mantap dan agung.
5. Sejarah bahasa itu mantap dan sahih.
6. Bahasa itu mempunyai banyak bahan dokumentasi untuk dikaji.
7. Bahasa itu mempunyai pakar tradisional dan modern.
8. Bahasa itu mempunyai kebijakan (policy) perencanaan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang cinta bahasanya.
9. Bahasa itu dihormati oleh pemakainya dan masyarakat pemakai Kelompok lain.
10. Bahasa itu mempunyai cirri kebangsaan atau nasional.
Ferdinand De Saussure (1922) seorang tokoh bahasa prancis berpendapat bahwa perencanaan bahasa perlu dilakukan secara berangsur-angsur dan berkesinambungan. Lebih lanjut Fishman (1977) mengatakan bahwa perencanaan bahasa akan berhasil apabila didukung oleh semua pihak khususnya pemerintah, pendidik, ahli bahasa, hakim, kalangan swasta dan rakyat sendiri. Dalam bukunya “advance in language planning” Fishman menekankan bahwa perencanaan bahasa dapat dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu Perencanaan status dan perencanaan korpus. Perencanaan status adalah pemberian kedudukan yang jelas kepada suatu bahasa. Perencanaan korpus adalah usaha kodifikasi bahasa dalam rangka penyempurnaan bahasa sehingga bisa dipakai secara mantap baik secara lisan maupun tulis.
8. DIALEK
Dialek dibedakan:
1. Dialek regional
Yaitu ragam bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan disuatu daerah dengan bahasa yang digunakan didaerah lain meski mereka berasal dari bahasa yang sama.


2. Dialek sosial
Yaitu dialek yang digunakan oleh Kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek remaja.
3. Dialek temporal
Yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek melayu zaman sriwijaya dan dialek melayu zaman Abdullah.
9. IDIOLEK
Yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki cirri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
10. RAGAM BAHASA
Ragam bahasa dalam bahasa Indonesia berjumlah sangat banyak. Sehingganya ragam bahasa dibagi atas dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antar pembicara.
Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi:
1) Ragam undang-undang
2) Ragam jurnalistik
3) Ragam ilmiah
4) Ragam sastra
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibagi atas:
1) Ragam lisan, terdiri dari: ragam percakapan, ragam pidato, ragam kuliah, ragam panggung.
2) Ragam tulis, terdiri dari: ragam teknis, ragam undang-undang, ragam catatan, ragam surat menyurat.
Dalam kenyataanya, bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk:
1. Komunikasi resmi
2. Wacana teknis
3. Pembicaraan didepan khalayak ramai
4. Pembicaraan dengan orang yang dihormati
Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah ragam bahasa tidak baku.



Post a Comment

1 Comments